Senin, 12 Juli 2010

" Tasawuf sebagai Mazhab Cinta "

Menurut kisah, Hasan Al-Bashri sahabat karib Rabi’ah (meskipun dikisahkan meninggal lebih dari tujuh puluh tahun sebelum kematian Rabi’ah ), mendesak Rabi’ah agar segera menikah, dan begitu juga yang lainnya. Mereka mendesak agar memilih sesama sahabat sufi di kota itu. Atas desakan kuat itu Rabi’ah mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar diantara kalian semua”. Mereka mengajukan sekaligus mengatakan dengan sedikit mendesak, “Hasan Al-Bashri itulah orangnya.”
Dengan diantar para sufi kemudian berangkatlah Hasan Al-Bashri menemui Rabi’ah untuk melamarnya. Lantas Rabi’ah berkata kepadanya, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku bersedia menjadi istrimu.” Hasan Al-Bashri berkata, “Bertanyalah dan jika Allah mengijinkan, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Pertanyaan pertama, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?”
Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
Lalu ia mengajukan pertanyaan kedua, “Pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan juga menjawab, “Hanya Allah Yang Tahu.”
Lalu Rabi’ah memberikan pertanyaan selanjutnya, “Pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan nanti semua akan menerima buku di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerimanya di tangan kanan atau tangan kiriku?”

Maka Hasan hanya dapat menjawab, “Hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.”
Akhirnya Rabi’ah mengajukan pertanyaan terakhir, “Pada saat hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk Surga (Jannah) dan sebagian kelompok lain akan masuk ke Neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan juga menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya Rabi’ah mengatakan kepada Hasan ,”Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaimana aku harus bersuami yang kepadanya dan aku harus menghabiskan waktuku dengannya? Sedangkan dengan empat pertanyaanku saja dia tidak bisa menjawab.”
Mendengar jawaban itu maka pergilah Hasan meninggalkan Rabi’ah menempuh jalan hidup (spiritual) sendiri-sendiri.
Sebagaimana kebanyakan cerita di dunia tasawuf, kita tak tahu bagaimana Hasan bisa bertemu dengan Rabi’ah. Yang jelas riwayat
dialog di atas sebenarnya mencerminkan dua konsep tasawuf pada masa awal perkembangannya yang dilakoni oleh tokohnya masing-masing.
Rabi’ah al-Adawiyah misalnya adalah seorang wanita sufi yang pertama kali menitikberatkan unsur cinta “Hub” di dalam tasawuf bahkan menggarisbawahinya. Rabi’ah pernah berkata: “Uhibbuka hubbain”, aku mencintai Engkau karena dua kecintaan. Satu kecintaan karena nafsu, dan kedua karena Engkau layak menerima cintaku.”
Sebagaimana mazhab fiqih, kalam & filsafat, juga ada banyak ajaran dan doktrin tasawuf yang berkembang, tapi makhluk semacam apakah tasawuf itu? Tak ada kata yang paling sering disalahpahami selain tasawuf. Baik oleh pembenci maupun pengamalnya. Tasawuf dibenci disamping karena tidak dipahami juga dianggap sebagai anti sains, anti kemajuan. Sebagian orang malah berujar jika tasawuf datang, kemajuan akan hengkang. Memang, ada banyak definisi tentang tasawuf.
Suhrawardi mengatakan, “Qawl (pendapat) para guru tasawuf tentang apa itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya.”
Walaupun begitu banyak Suhrawardi menyebut beberapa definisi Tasawuf dari tokok-tokoh kenamaan dalam dunia tasawuf. Abu Sa’id al-Kharraz (268 H) berkata, “Sufi adalah orang yang telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah.”
Berkata Abdul Qadir Kilani: “Orang membersihkan lahir batinnya dengan mengikuti kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya saw. Secara tidak langsung Basyar al-Hafi mengartikan tasawuf sebagai mengikuti sunnah Rasul, berkhidmat kepada orang-orang saleh, memberi nasihat kepada saudara seagama, mencintai sahabat dan ahlil bait Nabi. Tanpa
penjelasan, definisi-definisi ini tidak bermanfaat apa-apa. Pada umumnya orang keliru memahami pengertian tasawuf dengan zuhud dan ibadah; sufi dengan zahid dan ‘abid.
Sekarang ini tasawuf adalah nama tanpa realitas. Dahulu tasawuf adalah realitas tanpa nama, begitu kata Abul Hasan Fusyanji. Tulisan
itu dikomentari oleh Hujwiri, “Pada jaman para sahabat Rasulullah dan para khalifahnya, nama tasawuf tidak ada, tetapi realitasnya ada pada din setiap orang.

Saat ini nama itu ada tanpa realitas.” Itu diucapkannya pada abad ke-11, empat ratus tahun setelah Rasulullah s.a.w. meninggal dunia. Kini mungkin sebagian orang masih menganggapnya relevan, dan sebagian lagi mungkin menolaknya. Para penganut tasawuf misalnya masih beranggapan bahwa tasawuf masih tetap hidup, bergantung bagaimana kita mendefinisikan tasawuf.

Kontributor : Syamsu Dharma
(kampoengsufi, 10/06/2003)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Catatanku. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Download Royalty free images without registering at Pixmac.com